Kisah Perang Uhud sudah masyhur di telinga kita semua, dan ketika ada pertanyaan “siapakah yang menang pada Perang Uhud?”. Tentu tanpa keraguan kita akan menjawab, “kaum musyrikin”. Dengan sederet alasan dan bukti diajukan dari kisah yang kita baca:
- Jumlah kaum muslimin yang meninggal lebih banyak
- Banyak dari para pahlawan Islam mati syahid, seperti Hamzah dan Mush’ab bin ‘Umair radiyallahu anhuma
- Kaum muslimin meninggalkan medan perang, dan mundur ke arah gunung
- Dan sederet alasan lain
Coba kita renungkan memang benar, pada saat itu kaum muslimin yang menderita kekalahan, kalau kita melihat dari sisi sudut pandang kerugian saat perang. Tapi kalau kita lihat dari nilai yang kaum muslimin pelajari dari Perang Uhud, kita bisa percaya diri mengatakan, kaum Muslimin yang menang ketika perang uhud.
Mengapa demikian? Ini penjelasannya:
Ketika kaum muslimin merasakan pahitnya kekalahan pada Perang uhud, mereka pun menyadari apa sebab kekalahan itu, dan dengan apa mereka akan meraih kemenangan. Sebelum Perang Uhud, waktu itu sabtu pagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar pasukan pemanah yang berada di Bukit Rumah (nama aslinya Bukit ‘Ainain) agar tetap berada ditempatnya, walaupun kaum muslimin telah meraih kemenangan atau ditimpa kekalahan.
Api peperangan menyala, pedang menyambar, anak panah meleset keluar dari busurnya, tombak dihujamkan, banyak nyawa yang melayang, kaum muslimin menyerang, maju dengan penuh kepahlawan sebagai ksatria, kemenangan pun telah menampakkan senyumnya, kaum musyrikin lari meninggalkan medan perang penuh ketakutan.
Saat itu, diatas Bukit Rumah pasukan pemanah mulai berselisih, kebanyakan mereka berkata, “Kita telah menang, ayo kita turun untuk bersama saudara-saudara kita“.
Pimpinan pasukan Abdullah bin Jubair radiyallahu’anhu mengingatkan, “Tetaplah berada ditempat kalian, karena Rasulullah memerintahkan agar kita tetap berada diatas bukit, dalam keadaan kita menang ataupun kita kalah“.
“Perintah Rasulullah itu adalah dalam keadaan perang, sekarang perang telah selesai dan musuh telah melarikan diri“, mereka beralasan. Kemudian 40 orang dari 50 orang pasukan pemanah turun dari Bukit Rumah.
Pimpinan pasukan berkuda kaum musyrikin Khalid bin Walid (sebelum masuk Islam) melihat kebanyakan pasukan pemanah telah meninggalkan tempatnya, maka ia dengan sigap menyerang pasukan kaum Muslimin dari belakang. Sisa pasukan pemanah yang berada diatas bukit yang bertugas untuk melindungi bagian belakang kaum muslimin tidak dapat menghadapi pasukan berkuda kaum musyrikin.
Keadaan pun berbalik, cahaya kemenangan yang mulai nampak kembali bersembunyi, kekalahan akhirnya dirasa, luka jasmani dan pahitnya kekalahan mereka teguk dengan begitu berat.
Namun mereka sadar, akan sebab kekalahan yakni melanggar satu perintah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka akan mendapatkan kunci kemenangan dan pertolongan Allah Ta’ala adalah dengan menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebab kekalahan telah diketahui, kunci kemenangan di tangan. Maka setelah Perang Uhud kaum muslimin selalu meraih kemenangan.
Pelajaran dari Kemenangan di Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kesedihan melanda. Bahkan kekacauan terjadi pada kekhalifahan Islam yang baru berdiri, muncul Nabi-Nabi palsu, banyak kabilah Arab yang tidak mau membayar zakat, keamanan kota Madinah ibu kota Negara Islam terancam. Saat itu Abu Bakar radiyallahu’anhu sebagai Khalifah memerintahkan agar pasukan Usamah bin Zaid radiyallahu’anhu segera diberangkatkan. Pasukan yang dibentuk oleh RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerangi kabilah-kabilah Arab di daerah perbatasan dengan negeri Syam, kabilah-kabilah Arab yang telah memerangi kaum muslimin bersama dengan tentara Romawi.
Banyak dari sahabat tidak menyetujui keputusan Abu Bakar radiyallahu’anhu. Madinah sedang terancam dari serangan musuh, Pasukan Usamah sebaiknya untuk memperkuat pertahanan kota Madinah. Sebagian lagi berpendapat, kalaupun Pasukan Usamah memang terpaksa diberangkatkan, maka panglimanya diganti, karena Usamah masih terlalu muda untuk memimpin sebuah pasukan.
Abu Bakar radiyallahu’anhu telah mengetahui rahasia kemenangan, yang banyak dari sahabat lalai darinya karena beban musibah kematian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terasa sangat berat. Dengan tegas ia mengatakan, “Aku akan tetap memberangkat pasukan Usamah, walaupun aku harus pergi seorang diri“. Ia berkata, “Apakah aku mengganti sebuah bendera (sebuah pasukan), yang telah dikibarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Apa yang terjadi?
Pasukan Usamah meraih kemenangan, dengan sebab itu banyak kabilah Arab akhirnya tunduk pada khalifah kaum muslimin, karena mereka mengetahui bahwa khalifah kaum muslimin tidak mungkin mengirim pasukan keluar Madinah, kecuali mereka memiliki pertahanan yang kuat untuk membela kota Madinah.
Kita ingin meraih kemenangan dan kejayaan kembali bagi Umat Islam? Ingat Perang Uhud, ingat Abu Bakar dan Pasukan Usamah. Lalu kita lihat diri kita, dimanakah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada ? Dan dimanakah kita bertempat?
Mengikut jalan sunnah adalah kemenagan.
Kisah Wahsyi Budak yang Membunuh Paman Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib
Dia adalah Wahsyi seorang hamba sahaya/budak berkulit hitam kepemilikan Jubair bin Muth’im. Semasa jahiliyahnya, Wahsyi budak berkulit hitam yang merupakan penombak ulung berhasil menombak Hamzah, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki julukan Asadullah (singa Allah). Namun ketika ia telah berislam, ia membunuh Musailamah Al-Kadzdzab sang nabi palsu.
Barangkali, perkataan yang paling cocok menggambarkan beliau adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
“Yang terbaik di antara kalian pada masa jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam jika dia itu fakih (paham agama).” (HR. Bukhari, no. 4689)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Amr bin Umayyah Adh-Dhimri sebagai berikut:
Aku pernah pergi bersama Ubaidillah bin Adi bin Khiyar. Setelah kami sampai di daerah Himsha, Ubaidillah bin Adi berkata, “Apakah engkau berani menemui Wahsyi untuk menanyainya tentang bagaimana dulu Hamzah terbunuh?”
Aku berkata, “Ya”
Saat itu Wahsyi tinggal di daerah Himsha. Kami pun bertanya kepada penduduk setempat. Ada seseorang yang menjawab, “Dia di dalam kerajaannya seperti seekor ayam besar.”
Kami pun menemui dan mengucapkan salam kepadanya. Dia menjawab salam kami. Sementara itu, Ubaidillah membalutkan surban ke wajahnya, sehingga Wahsyi hanya bisa melihat kedua mata dan kakinya saja. Ubaidillah berkata kepada Wahsyi, “Wahsyi, apakah engkau mengenaliku?”
Wahsyi menatap Ubaidillah, lalu berkata, “Tidak. Demi Allah, hanya saja aku tahu Adi bin Khiyar pernah menikah dengan seorang wanita yang dikenal dengan Ummu Qital binti Abil Ish. Keduanya diberi seorang anak waktu berada di Mekkah. Aku pernah mencarikan seorang wanita untuk menyusui anaknya. Aku membawa anak itu bersama ibunya, lalu aku serahkan kepada wanita yang menyusui anak itu dan sepertinya aku pernah melihat kedua telapak kakimu.”
Ubaidillah membuka tutup wajahnya lalu berkata, “Katakanlah kepada kami bagaimana Hamzah terbunuh.”
Wahsyi berkata, “Baik. Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin Adi bin Khiyar pada Perang Badar. Saat itu juga, tuanku (Jubair bin Muth’im) berkata kepadaku, “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah untuk menebus nyawa pamanku, berarti engkau telah merdeka.”
Ketika orang-orang pergi pada tahun Ainain (nama sebuah gunung di lereng Gunung Uhud yang disekat dengan sebuah lembah), aku ikut pergi bersama mereka menuju ke medan perang. Setelah para pasukan bertempur, tiba-tiba muncul Siba’ seraya berteriak, “Apakah ada yang sanggup melawanku?”
Saat itu juga Hamzah bin Abdul Muthallib menghadapinya seraya berkata, “Siba’, anak Ummu Anmar, wanita tukang khitan! Apakah kau menantang Allah dan Rasulullah?”
Tidak lama kemudian Hamzah menikam Siba’ hingga tewas begitu saja.
Dari arah lain, aku telah mengintai Hamzah dari balik batu besar. Ketika posisinya dekat denganku, aku langsung melesatkan tombak ke arahnya. Tombak tersebut mengenai kandung kemih hingga menembus kedua tulang pinggul Hamzah.
Demikianlah dia terbunuh. Saat orang orang kembali ke Mekkah, aku kembali bersama mereka dan menetap disana hingga orang Islam memenuhi kota tersebut (Fathu Makkah)
Beberapa waktu kemudian, aku pergi ke Thaif. Kemudian penduduk Thaif telah mengutus seseorang menemui Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menyakiti para pendatang. Aku pun pergi bersama mereka hingga menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah melihat diriku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau si Wahsyi?”
Aku berkata, “Benar.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah dirimu telah membunuh Hamzah?”
Aku berkata, “Engkau sendiri telah mendengarnya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau bisa menjauhkan wajahmu dariku?”
Aku pun pergi begitu saja. Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan muncul Musailamah Al-kadzdzab, aku berkata dalam hati, “Aku akan pergi membunuh Musailamah untuk menebus nyawa Hamzah.”
Aku pun pergi bersama kaum muslimin dan terjadilah apa yang harus terjadi. Saat itu, ada seorang laki-laki berdiri di gang sebuah tembok, seperti seekor unta berwarna cokelat, dan berambut acak-acakkan. Aku pun melemparkan tombakku hingga mengenai tengah-tengah dada dan menembus kedua tulang iganya. Tiba-tiba, salah seorang laki-laki dari kaum Anshar meloncat dan menyabet kepala Musailamah dengan pedang.”
Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bisawhab.