Tidak ada guru yang sempurna. Yang ada adalah kita, sebagai guru pembelajar, bertumbuh bersama seiring dengan perkembangan murid.
Seperti umumnya dialami guru-guru SD, tidak ada permasalahan yang seringkali muncul, selain persoalan dalam mengkondisikan anak-anak, termasuk saya. Di sini, kreativitas seorang guru seringkali ditantang untuk lebih fokus melakukan variasi dalam mengelola kegiatan pembelajaran di kelas.
Akan tetapi, ketika seorang guru tengah berusaha melakukan variasi dalam pembelajaran, ternyata muncul berbagai penolakan selama kegiatan belajar berlangsung. Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan lanjutan. Sebab satu kemungkinan besarnya, jika keterikatan emosional antara guru dan murid belum terjalin, maka dapat dipastikan misi pengelolaan kelas tidak akan berjalan mulus. Melalui kesadaran tersebut, sebagai pondasi awal dalam pengelolaan kelas, maka bagi saya, persoalan yang harus dipikirkan terlebih dahulu adalah bagaimana menjalin emosional antara murid dan guru.
Memang, seperti yang seringkali terjadi di lapangan, sembilan dari sepuluh guru di sekitar kita kerap memikirkan bagaimana strategi pengelolaan kelas agar anak menurut dengan segala peraturan sekolah yang bejibun. Tapi kita lupa, bahwa satu hal yang jarang didiskusikan sungguh-sungguh sebagai pendidik adalah jantung pendidikan itu sendiri: relasi antarmanusia.
Tidak ada proses belajar tanpa adanya relasi antarmanusia. Murid-murid menjalani proses pembelajaran, pasti melakukan kontak mata dan komunikasi dengan gurunya. Di sini, relasi antarmanusia secara otomatis akan terjalin secara sosial dan emosional.
Sekadar contoh, sebagai seorang guru, saya seringkali mengalami berbagai persoalan dari murid selama pembelajaran di kelas. Misalnya, penolakan dari murid ketika diminta memimpin doa, atau penolakan saat diminta mengerjakan soal, atau penolakan-penolakan lain yang sifatnya sederhana tapi memunculkan satu pertanyaan besar: apakah relasi antara saya dan murid sudah terjalin?
Nah, didorong oleh pertanyaan tersebut, saya coba melakukan beberapa hal sederhana yang dirasa bisa memberi pengaruh cukup efektif untuk menjalin relasi emosional antar saya dan murid.
1. Observasi personalitas anak
Dalam proses kegiatan belajar-mengajar, saya menyadari bahwa seorang guru tidak hanya sebatas mengenal nama, tapi juga mesti mengenal personalitas peserta didiknya. Mulai dari hal-hal yang sederhana, misalnya ketika jam istirahat sedang berlangsung saya mencoba bertanya:
“Kakak, kalau di rumah kegiatannya apa?”
“Kakak hobinya apa?”
Atau bisa juga bertanya:
“Hal apa yang paling disukai kakak?”
Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut dilakukan untuk mengetahui bakat, minat, dan hal-hal yang menarik bagi murid. Jika murid mulai aktif menjawab dan bercerita tentang hal-hal yang menarik bagi dirinya, pada titik inilah kita bisa melakukan pendekatan emosional.
2. Membaur dan jajan bersama di jam istirahat
Setelah melakukan profiling peserta didik, sebagai seorang guru, saya tidak ragu untuk mencoba membaur dengan mereka ketika jam istirahat berlangsung. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan ikut nimbrung, lalu ngobrol bareng seperti pada penjelasan poin pertama, kemudian makan jajan bareng, atau bahkan saling berbagi.
Di sini, misalnya saya pernah ikut nimbrung dengan membawa jajanan ringan sekaligus berbagi dan makan bareng. Di sela-sela itu, saya kadang membuat selingan dengan bercerita tentang favorit makanan/jajanan saya untuk memicu anak-anak ikut bercerita tentang kesukaan makanannya. Sehingga di sini, hubungan kami dapat terjalin dengan lebih menyenangkan.
3. Bermain bersama peserta didik sesuai dengan minatnya
Lebih jauh lagi, untuk menjalin relasi emosional, saya juga mengajak peserta didik bermain bersama. Misalnya, di kelas ada beberapa murid yang menyukai badminton. Nah, di sini saya mencoba mengajak mereka bermain badminton bersama.
Kebetulan juga saat itu ada beberapa murid yang sedang istirahat setelah usai kegiatan ekstrakurikuler badminton. Saya pun mencoba memanfaatkan kesempatan itu untuk mengajak mereka bermain badminton dengan asyik dan santai.
Hal ini dilakukan agar murid sadar bahwa seorang guru tidak hanya mengajar, menunjuk, atau menodong dengan segala pertanyaan. Tapi juga bisa diajak bermain santai, humble, dan ceria bersama.
Setelah mencoba beberapa hal di atas secara rutin, pengaruh hubungan emosional saya dan murid cukup terasa dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Sebagian dari penolakan yang kerap dilakukan oleh murid mulai berkurang. Dan hal ini, bagi saya, setidaknya menjadi penanda mulainya terjalin emosional antara saya dan anak-anak. Sehingga ketika melakukan pembelajaran pun, saya tidak lagi kaku dalam mengkondisikan anak-anak seperti di awal mengajar.
Akan tetapi, memang proses membangun relasi emosional dengan murid tidak bisa instan. Oleh karena itu, seorang guru, termasuk saya, butuh proses, waktu, dan tenaga sampai benar-benar dapat membangun chemistry dengan para murid, meski secara perlahan.
Lebih dari itu, dengan langkah-langkah sederhana dalam pendekatan emosional tersebut, sebagai seorang guru, saya mendapatkan satu pembelajaran bahwa: murid bukan robot atau bebek yang mudah diperintah dan digiring, melainkan sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai daya tarik secara sosial, kognitif, bahkan emosional. Sehingga dari pandangan itu, saya memahami, menjadi seorang guru adalah menjadi pembelajar kontinu untuk memanusiakan manusia dengan proses yang tidak sederhana, dengan waktu yang tidak pendek, dan dengan tenaga yang tidak alakadarnya, yakni sabar.
Penulis: Muhamad Saepudin, S.Pd (Wali Kelas V Amr bin Ash)