Oleh Ustadz M. Alwan Dzulfaqqor, S.Ag.

Apa itu mahram?

Imam nawawi menjelaskan tentang definisi mahram:

كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها

Setiap yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas yang dinamakan mahram adalah seseorang yang haram untuk dinikahi, salah satu contohnya karena nasab. Namun istilah mahram banyak digunakan oleh kebanyakan orang dengan sebutan muhrim, sebenarnya penggunaan istilah tersebut kurang tepat karena berubah makna yang dimana istilah muhrim artinya orang yang melakukan ihram, baik untuk umrah atau haji. Jadi istilah yang tepat adalah mahram.

Siapa sajakah mahram kita?

1. Untuk laki-laki

Wanita yang tidak boleh dinikahi (mahram) selamanya ada 11 orang ditambah karena faktor persusuan. Tujuh diantaranya, menjadi mahram karena hubungan nasab, dan empat sisanya menjadi mahram karena hubungan pernikahan.

Pertama, tujuh wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab:

  • Ibu, nenek, buyut perempuan dan seterusnya ke atas.
  • Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
  • Saudara perempuan, baik saudari kandung, se-bapak, atau se-ibu.
  • Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
  • Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
  • Bibi dari jalur bapak (‘ammaat).
  • Bibi dari jalur ibu (khalaat).

Kedua, empat wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan pernikahan:

  • Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas, meskipun hanya dengan akad.
  • Anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah melakukan hubungan dengan ibunya.
  • Istri bapak (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan seterusnya ke atas.
  • Istri anak (menantu perempuan), istri cucu, dan seterusnya kebawah.

Demikian pula karena sebab persusuan, bisa menjadikan mahram sebagaimana nasab. (Taisirul ‘Alam, Syarh Umdatul Ahkam, hal. 569)

2. Untuk perempuan

Laki-laki yang tidak boleh dinikahi (mahram) selamanya ada 11 orang ditambah karena faktor persusuan. Tujuh diantaranya, menjadi mahram karena hubungan nasab, dan empat sisanya menjadi mahram karena hubungan pernikahan.

Pertama, tujuh laki-laki yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab:

  • Bapak, kakek, buyut laki-laki dan seterusnya ke atas.
  • Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
  • Saudara laki-laki, baik saudari kandung, se-bapak, atau se-ibu.
  • Keponakan laki-laki dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
  • Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
  • Paman dari jalur bapak (‘ammun).
  • Paman dari jalur ibu (khallun).

Kedua, empat laki-laki yang tidak boleh dinikahi karena hubungan pernikahan:

  • Bapak dari istri (bapak mertua), kakek istri dan seterusnya ke atas, meskipun hanya dengan akad.
  • Anak laki-laki suami (anak sambung), jika si perempuan telah melakukan hubungan dengan bapaknya.
  • Suami ibu (bapak sambung), suami nenek (kakek sambung), dan seterusnya ke atas.
  • Suami anak (menantu laki- laki), suami cucu, dan seterusnya kebawah.

Dan untuk yang tidak di sebutkan di atas maka bukan mahram kita.

Catatan:

Pertama, saudara ipar apakah mahram?

Saudara ipar bukan termasuk mahram. bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar berhati-hati dalam melakukan pergaunlan bersama ipar. Dalilnya: Ada seorang sahabat yang bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana hukum kakak ipar?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Saudara ipar adalah kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maksud hadits: Interaksi dengan kakak ipar bisa menjadi sebab timbulnya maksiat dan kehancuran. Karena orang bermudah-mudah untuk bebas bergaul dengan iparnya, tanpa ada pengingkaran dari orang lain. Sehingga interaksinya lebih membahayakan daripada berinteraksi dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga. Kondisi semacam ini akan memudahkan mereka untuk terjerumus ke dalam zina.

Kedua, sepupu bukanlah mahram. Karena itu, dalam islam kita dibolehkan menikahi sepupu.

Ketiga, istri paman atau suami bibi, bukan mahram.

Misal: Adi mempunyai paman (Rudi), istri Rudi bukan mahram bagi Adi. Atau Wati punya bibi (Ida), suami Ida bukan mahram bagi Wati.

Bagaimana adab kepada yang bukan mahrom?

  • Tidak berikhtilat/berkhalwat.

Definisinya adalah tidak berdua-duan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ (سورة الأحزاب: 53)

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)

  • Tidak bersalaman atau bersentuhan.

Dari Umaimah bintu Ruqaiqah radhiallahu’ anha dia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersama para wanita (muslimah) untuk membaiat beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam, lalu beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam “Sunan Ibnu majah” (21. HR. an-Nasa’i (7/149, no. 4181), at-Tirmidzi (4/151, no. 1597) dan Ibnu Majah (2/959, no. 2874), dinyatakan sebagai hadits yang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Hajar (Fathul Bari 13/204)). Hadits ini menguatkan penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

Dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu’ anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya)” (22. HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 486 dan 487) dan ar-Ruyani dalam “al-Musnad” (2/227), dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawa-id 4/598), al-Mundziri dan al-Munawi (lihat kitab “Faidhul Qadiir” 5/258), dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 226)).

  • Harus menundukan pandangan.

قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. An Nuur: 31)

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.